Pages

Jumat, 14 Desember 2012

Berita Otomomi Daerah


Otonomi Daerah-78% Daerah Pemekaran Gagal


http://www.depdagri.go.id/media/article/images/2012/06/18/o/t/-1.jpg

Ke depan,kata dia, pembentukan daerah pemekaran menggunakan syarat yang lebih ketat sebagaimana tertuang dalam konsep Desartada.“Hasil evaluasi kita selama tiga tahun hanya 22% daerah pemekaran yang berhasil, sisanya 78% gagal,” ujarnya di kantor Kemendagri, Jakarta,akhir pekan lalu. Dia menjelaskan dari 19 usulan pemekaran daerah yang sedang dibahas dengan DPR, hanya tiga wilayah yang berpeluang untuk disetujui yakni Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dan dua kabupaten/ kota.

Tiga wilayah ini sudah mendapat rekomendasi dari menteri keuangan (menkeu), serta memenuhi sejumlah persyaratan misalnya luas daerah dan potensi daerah. “Peluang Provinsi Kaltara untuk dimekarkan sangat besar,” ujarnya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana membubarkan daerah yang rendah prestasi. Daerah yang tidak mampu melaksanakan kinerjanya dengan baik akan digabungkan kembali ke daerah induknya.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Mendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, seiring dengan sejalannya desentralisasi maka maraklah terjadi pemekaran daerah. Dari 316 kabupaten/kota sebelum reformasi, dan sesudah reformasi sampai 2012 bertambah 205 kabupaten/kota. Apa yang kemudian terjadi, belakangan ternyata dari pemekaran itu muncullah seberapa efektifkah sebetulnya pemekaran ini.

Apa benar yang namanya pemekaran ini mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. “Dari sana kemudian bergemalah di DPR,menuntut untuk adanya evaluasi,”katanya. Setelah dievaluasi, intinya ternyata tidak ada korelasi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, belanja pegawai yang masih terlalu besar dan seterusnya. ●robbi khadafi
Ket.Gambar:
Dalam peringatan Hari Otonomi Daerah ke-16 tingkat Sumut di Medan

Otonomi Sekolah, Tingkatkan Mutu


Otonomi Sekolah, Tingkatkan Mutu

Manajemen berbasis sekolah adalah prinsip program bantuan operasional sekolah meningkatkan mutu pembelajaran siswa di sekolah. Tujuh tahun berjalan, program itu dapat memastikan setiap anak sekolah karena alokasi dana mencakup 100 persen biaya operasional SD-SMP.
Hal itu mengemuka pada diskusi ”Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi Generasi Emas Indonesia” yang diadakan Bank Dunia, Jumat (13/7), di Jakarta.
Berdasarkan Preliminary Results Draft Public Expenditure Review Bank Dunia 2012, penggunaan dana dalam kewenangan sekolah terkait hasil belajar. Semakin fleksibel penggunaan dana, nilai siswa lebih baik. Pada program BOS, lebih dari 80 persen dana menjadi kewenangan sekolah.
Menurut Kepala Sektor Pembangunan Manusia Bank Dunia Mae Chu Chang, program BOS mendorong transformasi dari sistem terpusat ke manajemen berbasis sekolah. Itu membuat sumber dana dikendalikan sekolah berikut tanggung jawab perencanaan dan pengelolaannya.
”Ini juga terjadi di negara lain, seperti AS, Inggris, dan Hongkong,” kata Chang.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim mengatakan, hasil studi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 2011 menyebutkan, tingkat otonomi dan akuntabilitas sekolah memengaruhi hasil belajar. Peran BOS memperkuat manajemen berbasis sekolah kian penting.
Komite sekolah
Hanya saja, lanjut Chang, peran komite sekolah dalam manajemen berbasis sekolah ini sangat vital. Komite sekolah harus berisi wakil orangtua yang anaknya bersekolah di sekolah itu karena akan lebih peduli dan teliti mengawasi.
Hal sama dikatakan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan. Manajemen berbasis sekolah meningkatkan keterlibatan orangtua. ”Sekolah makin transparan dengan perencanaan dan penggunaan dana BOS,” katanya.
Ketua Komite Sekolah SD Cibuluh, Bogor, Asep Kusnadi menyatakan, setiap bulan pihaknya membuat laporan keuangan penggunaan dana BOS yang dipasang di papan pengumuman. Komite sekolah dan kepala sekolah bekerja sama merancang rencana anggaran sekolah dan memantau pelaksanaannya.
Ketika baru dimulai tahun 2005, dengan alokasi dana Rp 10 triliun dari APBN, ada 39 juta siswa penerima BOS. Unit cost saat itu Rp 235.000 per siswa SD/MI dan Rp 324.500 per siswa SMP/MTs. Tahun 2012, alokasi dana menjadi Rp 27,6 triliun untuk 44 juta siswa. Unit cost siswa Rp 580.000 per siswa SD/MI dan Rp 710.000 per siswa SMP/MTs.
Penggunaan BOS
Karena BOS 2012 mencakup 100 persen biaya operasional, lanjut Musliar, SD dan SMP dilarang memungut apa pun dari siswa. Sebab, BOS juga bisa untuk biaya seperti seragam, sepatu, alat tulis, dan bantuan ongkos transportasi bagi siswa tak mampu. ”Juga untuk membelibuku teks pelajaran dan penerimaan siswa baru,” katanya.
Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty mengatakan, pihaknya ingin terus bekerja sama dengan Indonesia. ”Agar program BOS lebih efektif,” ujarnya. Bantuan itu banyak untuk pelatihan manajemen, tidak langsung ke sekolah.

Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran


Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran
Tawuran antarpelajar atau antarmahasiswa sekarang ini semakin menjadi-jadi dan mengerikan. Tawuran di dunia pendidikan itu telah menyebabkan pelajar ataupun mahasiswa tewas sia-sia. Dalam satu bulan terakhir, secara beruntun terjadi tawuran yang menewaskan enam orang siswa dan mahasiswa.
ewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam satu dekade.
Siswa kelas X yang hobi main band itu terkapar tak jauh dari pintu gerbang sekolahnya di SMA 6. Padahal, lokasi sekolah korban dan pelaku bertetangga dan berada di kawasan strategis di Jakarta Selatan.
Sebulan sebelumnya, Jasuli (16), siswa kelas IX SMP 6, tewas disambar commuter line di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Ia tewas ditabrak kereta saat dikejar sekelompok pelajar lain. Jasuli yang saat itu berseragam pramuka berlari sendirian.
Dua hari setelah kematian Alawy, menyusul Deny Yanuar (17) alias Yadut, siswa SMK Yayasan Karya 66 (Yake). Ia juga tewas disabet celurit AD alias Djarot (15) dibantu rekannya, EK dan GAL. Yadut tergeletak tak jauh dari sekolahnya di Jalan Minangkabau, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia tewas mengenaskan setelah dikeroyok pelajar SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.
Kasus kematian Alawy dan Denny masih diusut, pecah lagi tawuran di bundaran Pancoran, Jakarta Selatan. Kali ini pelakunya siswa SMK Bakti, Cawang, Jakarta Timur, dengan SMK 29 Penerbangan, Jakarta Selatan, Kamis (11/10).
Meski tak ada yang tewas, namun, Rizki Alfian (15) alias Pepen dan Jalal Muhammad Akbar (16)—keduanya siswa SMK Bakti Jakarta—luka berat. Polisi kemudian menetapkan enam tersangka dari siswa SMK 29. Lima hari berselang, 80 siswa SMK Bakti ingin membalas dendam kepada siswa-siswa SMK. Mereka membawa bom molotov, celurit, golok, gir, dan lainnya.
Rencana para siswa itu tercium petugas dan guru sehingga mereka digiring ke halaman Polres Jakarta Selatan. Dari 80 siswa, polisi kemudian menetapkan 12 siswa sebagai tersangka.
Di Bogor, juga terjadi tawuran yang menyebabkan tewasnya seorang pelajar, Agung (17). Polisi membekuk Ga (15), siswa SMP yang diduga terlibat penganiayaan dengan celurit hingga menyebabkan korban tewas.
Tawuran juga terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, Kamis (11/10) lalu. Buntut dari tawuran itu, dua orang mahasiswa UNM tewas. Kepolisian Resor Kota Besar Makassar menetapkan MAB (20) dan kakaknya, MA (21), sebagai tersangka. Korban tewas adalah Rizky Munandar, mahasiswa UNM, dan Haryanto, mantan mahasiswa UNM.
Perubahan kurikulum
Makin maraknya tawuran di dunia pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja polisi yang sudah menggunung. Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena tawuran pelajar yang makin deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati jangan sampai dijadikan kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani. Sementara itu, banyak sekali kasus lain yang juga harus mendapat prioritas.
Hal itu ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Radjab, Rabu lalu. ”Jangan hanya menyerahkan kepada polisi saja jika sudah terjadi tawuran. Tetapi, bagaimana pencegahannya dan pembinaannya justru di rumah dan di sekolah. Polisi sudah menangani. Ada teknik dan aturan hukum yang diterapkan terhadap siapa pun pelakunya. Namun, ada pertimbangan dan kebijakan lain, karena ini menyangkut anak di bawah umur,” papar Untung.
Sementara bagi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang ini menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. ”Uji publiknya pada Februari 2013. Sekarang masih dikerjakan,” ujar Musliar saat ditanya Kompas di sela-sela pelatihan ESQ di Menara 165, Jakarta, pekan lalu.
Musliar mengakui, kurikulum yang berbasis kompetensi sekarang ini menyebabkan mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani untuk belajar.
Selain itu, tambah Musliar, dengan penataan kurikulum, pelajaran akan ditekankan kembali pada pelajaran mengenai sikap dan budi pekerja, selain juga kemampuan dan pengetahuan.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, untuk mencegah terjadinya tawuran, pihaknya tengah membangun simpul-simpul hubungan antarsekolah. Memang tak mudah, tapi tidak boleh bosan untuk membangun hal itu.
Terkait sanksi, Taufik menyatakan, sanksi yang pertama diarahkan kepada sekolah karena memiliki kewenangan dan otonomi. ”Jika terulang lagi, sekolah akan kami beri sanksi. Persoalannya, selama ini standar sekolah berbeda-beda menangani tawuran. Ini yang akan disamakan. Dari sanksi yang sudah dijalankan berupa teguran lisan, selanjutnya bisa menyangkut akreditasi sekolah.”
Menurut Taufik, setelah tahapan sanksi teguran, administratif, dan pidana berjalan, peninjauan akreditasi sekolah akan dilakukan.
Peran negara
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, salah satu penyebab utama tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun-temurun. Ini terlihat dari pola tawuran yang biasa terjadi di antara dua atau lebih sekolah yang memendam ketegangan lama.
”Perselisihan yang menahun atau bahkan bertahan puluhan tahun itu terwariskan ke generasi selanjutnya dengan pewarisan sense of identity,” ujarnya.
Sebagai contoh, di salah satu sekolah yang sering tawuran di Jakarta, nyaris semua anaknya mengenal bagaimana cara menggunakan gesper sebagai senjata untuk menyerang lawannya. Jadi, ada tradisi kekerasan yang terwariskan dengan kuat secara turun-temurun.
”Di sekolah lain, saya pernah menemukan para alumninya membanggakan sekolahnya dulu berani menyerang sekolah-sekolah lainnya dan disegani karena ketangguhan fisiknya. Ini menunjukkan bahwa kekerasan menjadi cara membuktikan diri dan identitas,” ujar Devie.
Inilah yang menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi, sudah melebih batas-batas toleransi. Maka, kasus tawuran sungguh menyedihkan dan memprihatinkan semua pihak. Padahal, negara belum memiliki sistem untuk menangani tawuran yang terus-menerus terjadi dan meminta korban jiwa.
”Bukan hanya soal tewasnya siswa dan mahasiswa, tetapi juga tawuran yang terjadi di dunia pendidikan yang seharusnya mengedepankan kecerdasan dan intelektual. Oleh sebab itu, sekolah ramah anak harus menjadi solusi bagi penyelesaian kasus tawuran. Sekolah harus menjadi rumah besar di mana anak didik dan guru serta orangtua bersentuhan dan tak ada kekerasan apalagi diskriminasi. Sekolah yang menumbuh kembangkan dan mendengarkan pendapat anak,” kata Badriyah, Kamis (18/10).
Hal senada diperkuat Wakil Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh. Negara harus hadir untuk menghentikan kasus tawuran yang sudah keterlaluan itu. ”Hanya dengan sekolah ramah anak, kita harapkan tawuran diminimalisasi,” harapnya. (

Daerah Merespon Wajib Belajar 12 Tahun


Daerah Merespon Wajib Belajar 12 Tahun.
Rencana pemerintah menggulirkan wajib belajar 12 tahun yang dirintis lewat program pendidikan menengah universal pada 2013 disambut beragam oleh daerah. Sejumlah daerah ada yang mulai menggulirkan program serupa, sebagian lainnya belum mendapat sinyal adanya tambahan dana pendamping untuk pendidikan menengah dari pemerintah kota/kabupaten.
Di DKI Jakarta, pendidikan menengah di jenjang SMA/SMK negeri mulai digratiskan pada tahun ajaran 2012/2013. Sekolah-sekolah milik pemerintah, termasuk sekolah rintisan bertaraf internasional (RSBI) ada yang tidak memungut iuran bulanan dari siswa.
“Program Pemerintah Provinsi DKI yang menggratiskan pendidikan di SMK/SMA membuat masyarakat tidak ragu mendaftar. Di sekolah kami, pendaftaran tahun ini cukup satu gelombang saja, padahal biasanya dua gelombang,” kata Kepala SMKN 18 Jakarta, Idawati.
Menurut Idawati, untuk program pendidikan menengah gratis ini, Pemprov DKI Jakarta memberi bantuan operasional senilai Rp 400.000 per siswa per bulan. Adapun dana rintisan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat besarnya Rp 10.000 per siswa per bulan.
“Sebagai sekolah reguler, bantuan dari Pemprov DKI cukup membantu. Sekolah kami bisa menggratiskan biaya iuran sekolah Rp 110.000 per bulan dan sumbangan pendikan awal tahun senilai Rp 1,5 juta. Bagi sekolah kami yang sekitar 85 persen siswanya dikategorikan tidak mampu, kebijakan Pemprov DKI melegakan,” tutur Idawati.
Kepala SMAN 12 Bandung Hartono mengatakan, sampai saat ini belum ada dukungan dari Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, untuk menambah biaya operasioanal di SMA. Bantuan operasional baru datang dari pemerintah pusat senilai Rp 10.000 per siswa.
Menurut Hartono, jika pemerintah pusat pada tahun depan mengalokasikan BOS pendidikan menengah senilai Rp 1 juta, dana tersebut dinilai belum cukup untuk membantu sekolah menggratiskan biaya pendidikan. “Kalau untuk membuat biaya tidak naik atau sedikit berkurang, sekolah masih bisa melaksanakan,” kata Hartono.
Sutarman, Kepala SMKN 2 Metro Lampung, mengatakan alokasi BOS pendidikan menengah senilai Rp 1 juta/siswa/tahun belum bisa membuat sekolah menggambil langkah untuk menggratiskan biaya sekolah. Iuran bulanan di sekolah ini sebesar Rp 120.000 dan sumbangan siswa baru Rp 1,5 juta.
“Sekolah ingin terus meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Jika mengandalkan dana pemerintah, kemajuan jadi lamban. Karena itu, sekolah tetap berupaya bekerjasama dengan ornag tua supaya mau mendukung dalam pembiayan sekolah. Bisa saja, nanti jumlahnya diutunkan dari yang sudah-sudah,” kata Sutarman.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan alokasi BOS pendidikan menengah memang masih menanggung sekitar 70 persen biaya operasional setiap siswa. Untuk itu, program ini harus juga mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
“Pemerintah daerah yang memang sudah memiliki program wajib belajar 12 tahun di daerahnya, harus tetap mempertahankan programnya. Tambahan dana dari pemerintah pusat justru membuat pendidikan menengah di sana semakin terjangkau. Sebaliknya, pemerintah daerah yang belum, mesti juga bisa memberi tambahan,” kata Nuh.

Seminar Membangun,Perdamaian dalam Keberagaman


Seminar Membangun,Perdamaian dalam Keberagaman
Seminar membangun perdamaian dalam keberagaman Seminar Membangun perdamaian dalam keberagaman diselenggarakan oleh for Chinese Indonesian Studies UK Petra berlangsung damai dihadiri tokoh agama maupun masyarakat dari berbagai kalangan.
Bisakah Indonesia damai dalam keberagaman? Konflik yang bernuansa suku, agama dan ras makin sering terjadi di Indonesia. Hal ini dipicu oleh masyarakat Indonesia yang dilatarbelakangi oleh beragam suku, agama, dan golongan yang berbeda. Relasi yang kurang harmonis, prasangka, dan kesalah-pahaman sering terjadi dan sering pula menimbulkan konflik dan tindak kekerasan. Kalaupun usaha yang mengarah ke resolusi penyelesaian masalah sudah sering dilakukan, nampaknya akar masalah belum terkuak sehingga konflik sering terulang kembali.
CCIS (Center for Chinese Indonesian Studies) UK Petra tertantang untuk melakukan penelitian guna mencari tahu sumber masalah penyebab konflik serta mencari kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah untuk mencapai perdamaian yang nyata. Delapan kali Focus Group Discussion (FGD) telah digelar untuk mendiskusikan masalah yang ada dan mencari solusi yang diharapkan. Anak-anak muda dari berbagai Perguruan Tinggi dan organisasi telah diundang untuk berpartisipasi dalam FGD tersebut. Seminar kali ini menyajikan hasil dari penelitian yang sudah dilaksanakan tahun lalu. Di samping itu juga akan dipaparkan oleh Dr. Paulus Wijaya diskusi menarik tentang membangun perdamaian dalam keberagaman yang bisa menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia untuk berbenah diri menuju masyarakat Indonesia yang bersatu dan damai.
Penyebab Konflik oleh Prof. Esther Kuntjara, Ph.D. (Ketua Center for Chinese Indonesian Studies UK Petra) disebabkan oleh politik dan ekonomi, social budaya dan cara berdakwa merendahkan pihak lain. Resolusi konflik adalah Berteman dengan orang yang berbeda latar belakang perlu dipupuk untuk mengembangkan jiwa dan semangat nasionalisme. Lingkungan Kampus dan kaum muda diharapkan menjadi pemecah kebuntuan konflik sehingga perbedaan bisa dijembatani dengan berkomunikasi secara rutin sehingga terjalin persahabatan. Teori johan Galtung bahwa Equality equity mutual respect sehingga bisa mencapai perdamaian Membangun perdamaian dalam keberagaman Paulus Sugeng Wijaya, Ph.D. (Pusat Studi & Pengembangan Perdamaian UK Duta Wacana).
Dengan cara membereskan orangnya dengan membentuk karakter teori ketel nasi ketemu bareng makan Empat hal yaitu:
1. Kebajikan ibarat ranting pohon, kombinasi kekuatan dan kesempurnaan untuk melakukan fungsinya dengan sempurna. Manusia juga sama perangkulan kepada siapa saja tanpa memandang perbedaan latarbelakang social bahkan bisa merangkul musuh kita. Misalkan kerendahan hati, empati, kesediaan untuk terbuka dan terluka (vulnerabilitas), pengampunan, rekonsiliasi, kebenaran, keadilan restorative (pemulihan hubungan yang sudah retak), keterbukaan, kerjasama, imajinasi. melalui teladan kepada anak kita begitu pula belajar moralitas dengan meniru. Kalau ortu senang menciptakan perdamaian maka si anak akan berdamai.
2. Telos tindakan yang berorientasi pada matahari yang menentukan arah kita. Keberanian termasuk kebajikan dan kefasikan tergantung telosnya atau orientasi hidup.
3. Narasi atau kosakata membentuk tembok di antara mereka. Contoh: kisah William abad 1527 pertengahan dianggap budak (anak baptis) antara Negara dan gereja saat dipenjara lari di danau bongkahan es dan menolong akhirnya tertangkap dan dihukum mati. Bagi orang Kristen mengasihi dan mendoakan musuh kita. Di balik narasi yang tercipta di masyarakat perlu dikritisi keluar dr hermeneutic.
4. Praktek sosial kalau tindakan itu secara rutin dan tepada terus menerus sehingga membentuk kebajikan kita. Karakter berhubungan dengan tindakan kita pada kekerasan maka akan jadi kebiasan kekerasan. Contoh: pemberdayaan masyarakat sipil yg punya kekuatan budaya, pembangunan berwawasan damai, pengembangan demokrasi HAM, dialog studi dan kolaborasi lintas iman, berbagi tempat suci (live in), ibadah, transgormasi konflik.
Pertanyaan dari beberapa audiens antara lain:
1. Alex R Kaho (Forum komunikasi budaya Tionghoa Surabaya) budaya dan nama tionghoa ganti nama menyebabkan identitas diri jadi hilang antar saudara bisa pecah sehingga antar saudara bisa menikah. Gus Dur UU 12/2006 kita tidak merasa dibedakan antar suku dan agama.
2. Linggarjati masalah SARA dengan bahasa rohani pengampunan. Musuh SARA moh limo mendem, madat, madon, maling. Mungkinkah pengampunan terhadap kelima musuh tadi? ( Suku, bangsa, ras, agama).
3. Dosen filsafat UK Petra. Kedamaian, kekeluargaan, kedamaian, keindahan dan kemuliaan. Apa sikap terbaik sebagai minoritas? Jadilah sekuntum bunga teratai meskipun tumbuh di tengah lumpur tetap berbau harum.

0 komentar:

Posting Komentar