Otonomi Daerah-78% Daerah Pemekaran Gagal
Ke depan,kata dia, pembentukan daerah pemekaran menggunakan syarat
yang lebih ketat sebagaimana tertuang dalam konsep Desartada.“Hasil evaluasi
kita selama tiga tahun hanya 22% daerah pemekaran yang berhasil, sisanya 78%
gagal,” ujarnya di kantor Kemendagri, Jakarta,akhir pekan lalu. Dia menjelaskan
dari 19 usulan pemekaran daerah yang sedang dibahas dengan DPR, hanya tiga
wilayah yang berpeluang untuk disetujui yakni Provinsi Kalimantan Utara
(Kaltara) dan dua kabupaten/ kota.
Tiga wilayah ini sudah mendapat rekomendasi dari menteri keuangan (menkeu), serta memenuhi sejumlah persyaratan misalnya luas daerah dan potensi daerah. “Peluang Provinsi Kaltara untuk dimekarkan sangat besar,” ujarnya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana membubarkan daerah yang rendah prestasi. Daerah yang tidak mampu melaksanakan kinerjanya dengan baik akan digabungkan kembali ke daerah induknya.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Mendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, seiring dengan sejalannya desentralisasi maka maraklah terjadi pemekaran daerah. Dari 316 kabupaten/kota sebelum reformasi, dan sesudah reformasi sampai 2012 bertambah 205 kabupaten/kota. Apa yang kemudian terjadi, belakangan ternyata dari pemekaran itu muncullah seberapa efektifkah sebetulnya pemekaran ini.
Apa benar yang namanya pemekaran ini mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. “Dari sana kemudian bergemalah di DPR,menuntut untuk adanya evaluasi,”katanya. Setelah dievaluasi, intinya ternyata tidak ada korelasi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, belanja pegawai yang masih terlalu besar dan seterusnya. ●robbi khadafi
Ket.Gambar:
Dalam
peringatan Hari Otonomi Daerah ke-16 tingkat Sumut di Medan
Otonomi Sekolah, Tingkatkan Mutu
Manajemen berbasis sekolah adalah prinsip program bantuan
operasional sekolah meningkatkan mutu pembelajaran siswa di sekolah. Tujuh
tahun berjalan, program itu dapat memastikan setiap anak sekolah karena alokasi
dana mencakup 100 persen biaya operasional SD-SMP.
Hal itu
mengemuka pada diskusi ”Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi Generasi Emas
Indonesia” yang diadakan Bank Dunia, Jumat (13/7), di Jakarta.
Berdasarkan
Preliminary Results Draft Public Expenditure Review Bank Dunia 2012, penggunaan
dana dalam kewenangan sekolah terkait hasil belajar. Semakin fleksibel
penggunaan dana, nilai siswa lebih baik. Pada program BOS, lebih dari 80 persen
dana menjadi kewenangan sekolah.
Menurut
Kepala Sektor Pembangunan Manusia Bank Dunia Mae Chu Chang, program BOS
mendorong transformasi dari sistem terpusat ke manajemen berbasis sekolah. Itu
membuat sumber dana dikendalikan sekolah berikut tanggung jawab perencanaan dan
pengelolaannya.
”Ini juga
terjadi di negara lain, seperti AS, Inggris, dan Hongkong,” kata Chang.
Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim mengatakan,
hasil studi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 2011
menyebutkan, tingkat otonomi dan akuntabilitas sekolah memengaruhi hasil
belajar. Peran BOS memperkuat manajemen berbasis sekolah kian penting.
Komite
sekolah
Hanya
saja, lanjut Chang, peran komite sekolah dalam manajemen berbasis sekolah ini
sangat vital. Komite sekolah harus berisi wakil orangtua yang anaknya
bersekolah di sekolah itu karena akan lebih peduli dan teliti mengawasi.
Hal sama
dikatakan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan.
Manajemen berbasis sekolah meningkatkan keterlibatan orangtua. ”Sekolah makin
transparan dengan perencanaan dan penggunaan dana BOS,” katanya.
Ketua
Komite Sekolah SD Cibuluh, Bogor, Asep Kusnadi menyatakan, setiap bulan
pihaknya membuat laporan keuangan penggunaan dana BOS yang dipasang di papan
pengumuman. Komite sekolah dan kepala sekolah bekerja sama merancang rencana
anggaran sekolah dan memantau pelaksanaannya.
Ketika
baru dimulai tahun 2005, dengan alokasi dana Rp 10 triliun dari APBN, ada 39
juta siswa penerima BOS. Unit cost saat itu Rp 235.000 per siswa SD/MI dan Rp
324.500 per siswa SMP/MTs. Tahun 2012, alokasi dana menjadi Rp 27,6 triliun
untuk 44 juta siswa. Unit cost siswa Rp 580.000 per siswa SD/MI dan Rp 710.000
per siswa SMP/MTs.
Penggunaan
BOS
Karena
BOS 2012 mencakup 100 persen biaya operasional, lanjut Musliar, SD dan SMP
dilarang memungut apa pun dari siswa. Sebab, BOS juga bisa untuk biaya seperti
seragam, sepatu, alat tulis, dan bantuan ongkos transportasi bagi siswa tak
mampu. ”Juga untuk membelibuku teks pelajaran dan penerimaan siswa baru,”
katanya.
Duta
Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty mengatakan, pihaknya ingin terus
bekerja sama dengan Indonesia. ”Agar program BOS lebih efektif,” ujarnya.
Bantuan itu banyak untuk pelatihan manajemen, tidak langsung ke sekolah.
Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran
Tawuran
antarpelajar atau antarmahasiswa sekarang ini semakin menjadi-jadi dan
mengerikan. Tawuran di dunia pendidikan itu telah menyebabkan pelajar ataupun
mahasiswa tewas sia-sia. Dalam satu bulan terakhir, secara beruntun terjadi
tawuran yang menewaskan enam orang siswa dan mahasiswa.
ewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam,
Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70,
FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam
satu dekade.
Siswa kelas X yang hobi main band itu
terkapar tak jauh dari pintu gerbang sekolahnya di SMA 6. Padahal, lokasi
sekolah korban dan pelaku bertetangga dan berada di kawasan strategis di
Jakarta Selatan.
Sebulan sebelumnya, Jasuli (16),
siswa kelas IX SMP 6, tewas disambar commuter line di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta
Timur. Ia tewas ditabrak kereta saat dikejar sekelompok pelajar lain. Jasuli
yang saat itu berseragam pramuka berlari sendirian.
Dua hari setelah kematian Alawy,
menyusul Deny Yanuar (17) alias Yadut, siswa SMK Yayasan Karya 66 (Yake). Ia
juga tewas disabet celurit AD alias Djarot (15) dibantu rekannya, EK dan GAL.
Yadut tergeletak tak jauh dari sekolahnya di Jalan Minangkabau, Menteng Atas,
Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia tewas mengenaskan setelah dikeroyok pelajar SMK
Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.
Kasus kematian Alawy dan Denny masih
diusut, pecah lagi tawuran di bundaran Pancoran, Jakarta Selatan. Kali ini
pelakunya siswa SMK Bakti, Cawang, Jakarta Timur, dengan SMK 29 Penerbangan,
Jakarta Selatan, Kamis (11/10).
Meski tak ada yang tewas, namun,
Rizki Alfian (15) alias Pepen dan Jalal Muhammad Akbar (16)—keduanya siswa SMK
Bakti Jakarta—luka berat. Polisi kemudian menetapkan enam tersangka dari siswa
SMK 29. Lima hari berselang, 80 siswa SMK Bakti ingin membalas dendam kepada
siswa-siswa SMK. Mereka membawa bom molotov, celurit, golok, gir, dan lainnya.
Rencana para siswa itu tercium
petugas dan guru sehingga mereka digiring ke halaman Polres Jakarta Selatan.
Dari 80 siswa, polisi kemudian menetapkan 12 siswa sebagai tersangka.
Di Bogor, juga terjadi tawuran yang
menyebabkan tewasnya seorang pelajar, Agung (17). Polisi membekuk Ga (15),
siswa SMP yang diduga terlibat penganiayaan dengan celurit hingga menyebabkan
korban tewas.
Tawuran juga terjadi di Universitas
Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, Kamis (11/10) lalu. Buntut dari
tawuran itu, dua orang mahasiswa UNM tewas. Kepolisian Resor Kota Besar
Makassar menetapkan MAB (20) dan kakaknya, MA (21), sebagai tersangka. Korban
tewas adalah Rizky Munandar, mahasiswa UNM, dan Haryanto, mantan mahasiswa UNM.
Perubahan kurikulum
Makin maraknya tawuran di dunia
pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja polisi yang sudah menggunung.
Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena tawuran pelajar yang makin
deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati jangan sampai dijadikan
kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani. Sementara itu, banyak sekali
kasus lain yang juga harus mendapat prioritas.
Hal itu ditegaskan Kepala Kepolisian
Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Radjab, Rabu lalu. ”Jangan hanya
menyerahkan kepada polisi saja jika sudah terjadi tawuran. Tetapi, bagaimana
pencegahannya dan pembinaannya justru di rumah dan di sekolah. Polisi sudah
menangani. Ada teknik dan aturan hukum yang diterapkan terhadap siapa pun
pelakunya. Namun, ada pertimbangan dan kebijakan lain, karena ini menyangkut
anak di bawah umur,” papar Untung.
Sementara bagi Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang ini menjadi
momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan
pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran
pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. ”Uji publiknya pada Februari
2013. Sekarang masih dikerjakan,” ujar Musliar saat ditanya Kompas di
sela-sela pelatihan ESQ di Menara 165, Jakarta, pekan lalu.
Musliar mengakui, kurikulum yang
berbasis kompetensi sekarang ini menyebabkan mata pelajaran yang diberikan
kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani
untuk belajar.
Selain itu, tambah Musliar, dengan
penataan kurikulum, pelajaran akan ditekankan kembali pada pelajaran mengenai
sikap dan budi pekerja, selain juga kemampuan dan pengetahuan.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Taufik
Yudi Mulyanto mengatakan, untuk mencegah terjadinya tawuran, pihaknya tengah
membangun simpul-simpul hubungan antarsekolah. Memang tak mudah, tapi tidak
boleh bosan untuk membangun hal itu.
Terkait sanksi, Taufik menyatakan,
sanksi yang pertama diarahkan kepada sekolah karena memiliki kewenangan dan
otonomi. ”Jika terulang lagi, sekolah akan kami beri sanksi. Persoalannya,
selama ini standar sekolah berbeda-beda menangani tawuran. Ini yang akan
disamakan. Dari sanksi yang sudah dijalankan berupa teguran lisan, selanjutnya
bisa menyangkut akreditasi sekolah.”
Menurut Taufik, setelah tahapan
sanksi teguran, administratif, dan pidana berjalan, peninjauan akreditasi
sekolah akan dilakukan.
Peran negara
Pengamat sosial budaya Universitas
Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, salah satu penyebab utama tawuran
adalah adanya identitas dan tradisi turun-temurun. Ini terlihat dari pola
tawuran yang biasa terjadi di antara dua atau lebih sekolah yang memendam
ketegangan lama.
”Perselisihan yang menahun atau
bahkan bertahan puluhan tahun itu terwariskan ke generasi selanjutnya dengan
pewarisan sense of identity,”
ujarnya.
Sebagai contoh, di salah satu sekolah
yang sering tawuran di Jakarta, nyaris semua anaknya mengenal bagaimana cara
menggunakan gesper sebagai senjata untuk menyerang lawannya. Jadi, ada tradisi
kekerasan yang terwariskan dengan kuat secara turun-temurun.
”Di sekolah lain, saya pernah
menemukan para alumninya membanggakan sekolahnya dulu berani menyerang
sekolah-sekolah lainnya dan disegani karena ketangguhan fisiknya. Ini
menunjukkan bahwa kekerasan menjadi cara membuktikan diri dan identitas,” ujar
Devie.
Inilah yang menurut Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi, sudah melebih batas-batas
toleransi. Maka, kasus tawuran sungguh menyedihkan dan memprihatinkan semua
pihak. Padahal, negara belum memiliki sistem untuk menangani tawuran yang
terus-menerus terjadi dan meminta korban jiwa.
”Bukan hanya soal tewasnya siswa dan
mahasiswa, tetapi juga tawuran yang terjadi di dunia pendidikan yang seharusnya
mengedepankan kecerdasan dan intelektual. Oleh sebab itu, sekolah ramah anak
harus menjadi solusi bagi penyelesaian kasus tawuran. Sekolah harus menjadi
rumah besar di mana anak didik dan guru serta orangtua bersentuhan dan tak ada kekerasan
apalagi diskriminasi. Sekolah yang menumbuh kembangkan dan mendengarkan
pendapat anak,” kata Badriyah, Kamis (18/10).
Hal senada diperkuat Wakil Ketua KPAI
Asrorun Ni’am Sholeh. Negara harus hadir untuk menghentikan kasus tawuran yang
sudah keterlaluan itu. ”Hanya dengan sekolah ramah anak, kita harapkan tawuran
diminimalisasi,” harapnya. (
Daerah Merespon Wajib Belajar 12 Tahun
.
Rencana pemerintah menggulirkan wajib belajar 12 tahun yang
dirintis lewat program pendidikan menengah universal pada 2013 disambut beragam
oleh daerah. Sejumlah daerah ada yang mulai menggulirkan program serupa,
sebagian lainnya belum mendapat sinyal adanya tambahan dana pendamping untuk
pendidikan menengah dari pemerintah kota/kabupaten.
Di DKI
Jakarta, pendidikan menengah di jenjang SMA/SMK negeri mulai digratiskan pada
tahun ajaran 2012/2013. Sekolah-sekolah milik pemerintah, termasuk sekolah
rintisan bertaraf internasional (RSBI) ada yang tidak memungut iuran bulanan
dari siswa.
“Program
Pemerintah Provinsi DKI yang menggratiskan pendidikan di SMK/SMA membuat
masyarakat tidak ragu mendaftar. Di sekolah kami, pendaftaran tahun ini cukup
satu gelombang saja, padahal biasanya dua gelombang,” kata Kepala SMKN 18
Jakarta, Idawati.
Menurut
Idawati, untuk program pendidikan menengah gratis ini, Pemprov DKI Jakarta
memberi bantuan operasional senilai Rp 400.000 per siswa per bulan. Adapun dana
rintisan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat besarnya Rp
10.000 per siswa per bulan.
“Sebagai
sekolah reguler, bantuan dari Pemprov DKI cukup membantu. Sekolah kami bisa
menggratiskan biaya iuran sekolah Rp 110.000 per bulan dan sumbangan pendikan
awal tahun senilai Rp 1,5 juta. Bagi sekolah kami yang sekitar 85 persen
siswanya dikategorikan tidak mampu, kebijakan Pemprov DKI melegakan,” tutur
Idawati.
Kepala
SMAN 12 Bandung Hartono mengatakan, sampai saat ini belum ada dukungan dari
Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, untuk menambah biaya operasioanal di SMA.
Bantuan operasional baru datang dari pemerintah pusat senilai Rp 10.000 per
siswa.
Menurut
Hartono, jika pemerintah pusat pada tahun depan mengalokasikan BOS pendidikan
menengah senilai Rp 1 juta, dana tersebut dinilai belum cukup untuk membantu
sekolah menggratiskan biaya pendidikan. “Kalau untuk membuat biaya tidak naik
atau sedikit berkurang, sekolah masih bisa melaksanakan,” kata Hartono.
Sutarman,
Kepala SMKN 2 Metro Lampung, mengatakan alokasi BOS pendidikan menengah senilai
Rp 1 juta/siswa/tahun belum bisa membuat sekolah menggambil langkah untuk
menggratiskan biaya sekolah. Iuran bulanan di sekolah ini sebesar Rp 120.000
dan sumbangan siswa baru Rp 1,5 juta.
“Sekolah
ingin terus meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Jika mengandalkan dana
pemerintah, kemajuan jadi lamban. Karena itu, sekolah tetap berupaya
bekerjasama dengan ornag tua supaya mau mendukung dalam pembiayan sekolah. Bisa
saja, nanti jumlahnya diutunkan dari yang sudah-sudah,” kata Sutarman.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan alokasi BOS pendidikan
menengah memang masih menanggung sekitar 70 persen biaya operasional setiap
siswa. Untuk itu, program ini harus juga mendapat dukungan dari pemerintah
daerah.
“Pemerintah
daerah yang memang sudah memiliki program wajib belajar 12 tahun di daerahnya,
harus tetap mempertahankan programnya. Tambahan dana dari pemerintah pusat
justru membuat pendidikan menengah di sana semakin terjangkau. Sebaliknya,
pemerintah daerah yang belum, mesti juga bisa memberi tambahan,” kata Nuh.
Seminar Membangun,Perdamaian dalam Keberagaman
Seminar membangun perdamaian dalam
keberagaman Seminar Membangun perdamaian dalam keberagaman diselenggarakan oleh
for Chinese Indonesian Studies UK Petra berlangsung damai dihadiri tokoh agama
maupun masyarakat dari berbagai kalangan.
Bisakah Indonesia damai dalam
keberagaman? Konflik yang bernuansa suku, agama dan ras makin sering terjadi di
Indonesia. Hal ini dipicu oleh masyarakat Indonesia yang dilatarbelakangi oleh
beragam suku, agama, dan golongan yang berbeda. Relasi yang kurang harmonis,
prasangka, dan kesalah-pahaman sering terjadi dan sering pula menimbulkan
konflik dan tindak kekerasan. Kalaupun usaha yang mengarah ke resolusi
penyelesaian masalah sudah sering dilakukan, nampaknya akar masalah belum
terkuak sehingga konflik sering terulang kembali.
CCIS (Center for Chinese Indonesian
Studies) UK Petra tertantang untuk melakukan penelitian guna mencari tahu
sumber masalah penyebab konflik serta mencari kemungkinan-kemungkinan
penyelesaian masalah untuk mencapai perdamaian yang nyata. Delapan kali Focus Group
Discussion (FGD) telah digelar untuk mendiskusikan masalah yang ada dan mencari
solusi yang diharapkan. Anak-anak muda dari berbagai Perguruan Tinggi dan
organisasi telah diundang untuk berpartisipasi dalam FGD tersebut. Seminar kali
ini menyajikan hasil dari penelitian yang sudah dilaksanakan tahun lalu. Di
samping itu juga akan dipaparkan oleh Dr. Paulus Wijaya diskusi menarik tentang
membangun perdamaian dalam keberagaman yang bisa menjadi tantangan bagi kita
bangsa Indonesia untuk berbenah diri menuju masyarakat Indonesia yang bersatu
dan damai.
Penyebab Konflik oleh Prof. Esther
Kuntjara, Ph.D. (Ketua Center for Chinese Indonesian Studies UK Petra)
disebabkan oleh politik dan ekonomi, social budaya dan cara berdakwa
merendahkan pihak lain. Resolusi konflik adalah Berteman dengan orang yang
berbeda latar belakang perlu dipupuk untuk mengembangkan jiwa dan semangat
nasionalisme. Lingkungan Kampus dan kaum muda diharapkan menjadi pemecah
kebuntuan konflik sehingga perbedaan bisa dijembatani dengan berkomunikasi
secara rutin sehingga terjalin persahabatan. Teori johan Galtung bahwa Equality
equity mutual respect sehingga bisa mencapai perdamaian Membangun perdamaian
dalam keberagaman Paulus Sugeng Wijaya, Ph.D. (Pusat Studi & Pengembangan
Perdamaian UK Duta Wacana).
Dengan cara membereskan orangnya
dengan membentuk karakter teori ketel nasi ketemu bareng makan Empat hal yaitu:
1. Kebajikan
ibarat ranting pohon, kombinasi kekuatan dan kesempurnaan untuk melakukan
fungsinya dengan sempurna. Manusia juga sama perangkulan kepada siapa saja
tanpa memandang perbedaan latarbelakang social bahkan bisa merangkul musuh
kita. Misalkan kerendahan hati, empati, kesediaan untuk terbuka dan terluka
(vulnerabilitas), pengampunan, rekonsiliasi, kebenaran, keadilan restorative
(pemulihan hubungan yang sudah retak), keterbukaan, kerjasama, imajinasi.
melalui teladan kepada anak kita begitu pula belajar moralitas dengan meniru.
Kalau ortu senang menciptakan perdamaian maka si anak akan berdamai.
2. Telos
tindakan yang berorientasi pada matahari yang menentukan arah kita. Keberanian
termasuk kebajikan dan kefasikan tergantung telosnya atau orientasi hidup.
3. Narasi
atau kosakata membentuk tembok di antara mereka. Contoh: kisah William abad
1527 pertengahan dianggap budak (anak baptis) antara Negara dan gereja saat
dipenjara lari di danau bongkahan es dan menolong akhirnya tertangkap dan
dihukum mati. Bagi orang Kristen mengasihi dan mendoakan musuh kita. Di balik
narasi yang tercipta di masyarakat perlu dikritisi keluar dr hermeneutic.
4. Praktek
sosial kalau tindakan itu secara rutin dan tepada terus menerus sehingga
membentuk kebajikan kita. Karakter berhubungan dengan tindakan kita pada
kekerasan maka akan jadi kebiasan kekerasan. Contoh: pemberdayaan masyarakat
sipil yg punya kekuatan budaya, pembangunan berwawasan damai, pengembangan
demokrasi HAM, dialog studi dan kolaborasi lintas iman, berbagi tempat suci
(live in), ibadah, transgormasi konflik.
Pertanyaan dari beberapa audiens
antara lain:
1. Alex
R Kaho (Forum komunikasi budaya Tionghoa Surabaya) budaya dan nama tionghoa
ganti nama menyebabkan identitas diri jadi hilang antar saudara bisa pecah
sehingga antar saudara bisa menikah. Gus Dur UU 12/2006 kita tidak merasa
dibedakan antar suku dan agama.
2. Linggarjati
masalah SARA dengan bahasa rohani pengampunan. Musuh SARA moh limo mendem,
madat, madon, maling. Mungkinkah pengampunan terhadap kelima musuh tadi? (
Suku, bangsa, ras, agama).
3. Dosen
filsafat UK Petra. Kedamaian, kekeluargaan, kedamaian, keindahan dan kemuliaan.
Apa sikap terbaik sebagai minoritas? Jadilah sekuntum bunga teratai meskipun
tumbuh di tengah lumpur tetap berbau harum.
0 komentar:
Posting Komentar